Tradisi Mabuug-buugan, Dipercaya Menetralisir Sifat Buruk

WhatsApp Image 2025-03-30 at 16.40.59
MABUUG-BUUGAN - Tradisi Mabuug-buugan di Desa Kedonganan diyakini dapat menetralisir sifat buruk dan menjadi simbol pembersihan diri setelah Hari Nyepi.(NI 01)

MANGUPURA, Nusainsight.com – Selain tradisi Siat Yeh di masyarakat Desa Jimbaran, ada satu lagi tradisi unik yang mampu menetralisir hal-hal atau sifat buruk. Tradisi ini terkenal dengan nama Mabuug-buugan atau yang lebih populer sebagai perang lumpur.

Ritual khas ini kembali terlaksana di Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung, Bali, tepat pada hari Ngembak Geni, Minggu (30/3/25). Tradisi yang hanya ada di Kedonganan ini rutin teriselenggarakan sehari setelah perayaan Hari Nyepi.

Secara filosofi, Mabuug-buugan berasal dari kata “Buug” yang berarti tanah atau lumpur. Prosesi ini menggambarkan interaksi manusia dengan tanah atau lumpur, yang melambangkan usaha untuk membersihkan diri dari sifat-sifat buruk. Lumpur dalam tradisi ini sebagai representasi dari Bhutakala atau roh-roh jahat yang melekat pada manusia. Oleh karena itu, perang lumpur dalam Mabuug-buugan menjadi simbol pembersihan diri dari kekotoran batin.

Baca Juga  Rejang Mahadewi, Tarian Sakral yang Dibalut Keanggunan Mata Tertutup

Sebagai agenda tahunan, Desa Adat Kedonganan tetap konsisten mengadakan Mabuug-buugan setiap hari Ngembak Geni. Tahun ini, prosesi bersamaan dengan event Segaralangu, sebuah ajang ekonomi kreatif bagi masyarakat setempat.

Bendesa Adat Kedonganan, Wayan Sutarja, menyatakan telah melakukan persiapan secara matang oleh panitia penyelenggara. Hal baru dalam perhelatan kali ini adalah pemberian hadiah kepada peserta dari berbagai kategori, termasuk anak-anak, siswa, dan masyarakat umum, sebagai bentuk apresiasi atas partisipasi mereka.

“Kami berusaha memberikan penghargaan kepada para peserta, baik dari kalangan anak-anak, siswa, maupun masyarakat umum. Harapannya, ini dapat mendorong lebih banyak partisipasi dan menjaga eksistensi tradisi Mabuug-buugan tanpa mengurangi makna filosofisnya,” ungkapnya.

Baca Juga  Ribuan WNA Arab Saudi Berlibur ke Bali

Yang lebih menarik lagi, tahun ini panitia berencana menambahkan unsur budaya ke dalam prosesi, seperti pementasan seni yang melibatkan iringan gamelan dan kentongan. Hal ini bertujuan untuk memperkuat nuansa sakral serta nilai tradisional dalam ritual Mabuug-buugan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, prosesi Mabuug-buugan berawal dengan berkumpul di Bale Agung. Selanjutnya, peserta akan berjalan menuju ke area berlumpur (buug) sebelum akhirnya bergerak ke pantai untuk melakukan pembersihan diri.

Setelah prosesi utama selesai, acara berlanjut dengan event Segaralangu. Ajang ini menjadi wadah bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal serta masyarakat Kedonganan, terutama Sekaa Teruna, untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi kreatif.

Menurut Sutarja, tahun ini panitia menyediakan 12 hingga 24 stand bagi para pelaku usaha kecil yang ingin memasarkan produknya. Namun, jumlah final stand masih akan menyesesuaikan dengan kondisi di lapangan.

Baca Juga  Jaga Keseimbangan Alam Lewat Tradisi Ter-teran

“Kegiatan UMKM di Segaralangu melibatkan Sekaa Teruna dan masyarakat Kedonganan. Saat ini, panitia telah menyiapkan 12-24 stand, tetapi jumlah pastinya masih akan kami sesuaikan dengan situasi di lapangan,” ujarnya.

Dengan keunikan dan nilai budaya yang kuat, tradisi Mabuug-buugan bukan hanya menjadi daya tarik wisata budaya, tetapi juga sarana edukasi bagi generasi muda untuk tetap melestarikan warisan leluhur.

Tradisi ini mengajarkan pentingnya pembersihan diri, kebersamaan, dan semangat gotong royong dalam menjaga keharmonisan masyarakat. Dengan inovasi dan penyelenggaraan yang semakin menarik, Mabuug-buugan terus berkembang sebagai salah satu tradisi unik yang layak untuk terus dilestarikan.(NI 01)

Facebook
X
Threads
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

admin-ajax-1.jpeg