Tari Nyenuk, Filosofi Menjaga Keseimbangan Manusia dan Alam

494682055_1092752436221570_7556573268308660502_n
TARI NYENUK - Tari Nyenuk merupakan tarian sakral yang hanya dipentaskan setiap 74 tahun sekali di Desa Adat Sangsit Dauh Yeh, Buleleng. Tarian ini mengandung filosofi mendalam tentang keseimbangan antara bhuana agung dan bhuana alit sebagai wujud syukur dan harmoni dalam kehidupan spiritual masyarakat Bali.(Humas Buleleng)

BULELENG, Nusainsight.com – Pulau Dewata Bali memang kaya akan tradisi unik yang tidak banyak orang tahu. Seperti halnya Tari Nyenuk yang tampil saat Upacara Padudusan Agung Menawa Ratna di Bale Agung Desa Adat Sangsit Dauh Yeh.

Tarian ini memiliki filosofi menjaga keseimbangan antara alam dan manusia, baik bhuana agung dan bhuana alit.
Bendesa/Kelian Desa Adat Sangsit Dauh Yeh, I Wayan Wisara mengakui, Tarian Nyenuk merupakan tarian sakral. Tarian ini tidak hanya merefleksikan kehidupan spiritual masyarakat Bali. Namun, juga sebagai simbol menjaga keseimbangan dan harmoni bhuana agung dan bhuana alit. 

“Saat piodalan, ngenteg linggih dan padudusan Agung Menawa Ratna, masyarakat berterima kasih atas perlindungan dan berkah oleh-Nya. Tarian Nyenuk tampil pada bagian terakhir dari rangkaian upacara. Tarian membawa makna rasa syukur mendalam atas kelancaran seluruh proses keagamaan yang telah berjalan sukses,” ucap Wisara.

Baca Juga  Hari Paid Paidan, Penguatan Tekad dalam Menuntut Ilmu

Dalam iringan Tarian Nyenuk, penari mengenakan pakaian dengan ciri warna yang khas yang memiliki makna simbolik. Seperti, warna merah yang melambangkan keberanian, putih melambangkan kesucian. Selain itu juga warna kuning simbol kebijaksanaan, hitam menandakan kekuatan dan ketenangan serta warna poleng melambangkan keragaman dan keharmonisan.

“Tarian ini juga merupakan salah satu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa pada lima penjuru mata angin. Dewa Siwa sebelah timur berwana putih, sebelah selatan Dewa Brahma berwana merah. Selain itu Mahadewa berwana kuning sebelah barat, sebelah utara Dewa Wisnu berwana hitam dan tengah merupakan panca datu,” jelas Wisara.

Sebelum tampil, penari Nyenuk melakukan tradisi memasar dalam bentuk bale pedanaan yang memiliki arti masyarakat agar memiliki sumbangsih. “Proses memasar merupakan proses kehidupan masyarakat di bidang sosial ekonomi dan budaya ketika masyarakat ada di pasar,” ujarnya.

Baca Juga  Desa Renon Tak Membuat Ogoh-Ogoh Saat Pengrupukan

Rangkaian Tarian Nyenuk melibatkan berbagai lapisan usia dan status sosial. Masing-masing kelompok memiliki peran tertentu dalam arak-arakan ini, menunjukkan betapa pentingnya peran setiap individu dalam pelestarian tradisi. Kehadiran berbagai generasi turut memperlihatkan bagaimana nilai-nilai budaya yang turun temurun dari orang tua kepada anak-anak. Ha ini untuk menjaga kesinambungan budaya dan warisan leluhur.

“Selain membawa persembahan berupa hasil bumi, kaum pria dan wanita memiliki tugas khusus dalam upacara ini. Para pria membawa “tegen-tegenan” yang berisi kelapa, tebu, buah-buahan, dan umbi-umbian. Sementara para wanita membawa beras, gula, bunga, dan sesajen. Persembahan ini menjadi wujud syukur yang tulus dari masyarakat atas kelancaran dan berkah dalam kehidupan mereka,” tuturnya.(NI 01)

Facebook
X
Threads
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

admin-ajax-1.jpeg