DENPASAR, Nusainsight.com – Umat Hindu Kamis (17/4/25) ini merayakan Rainan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali pada keesokan harinya. Rainan ini merupakan rangkaian menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Meski telah menjadi rutinitas menjelang perayaan hari kemenangan. Namun, masih banyak umat Hindu yang berangapan Rainan Sugian Jawa merupakan perayaan untuk umat Hindu dari Majapahit. Begitu juga Sugihan Bali sebagai hari raya untuk umat Hindu asli Bali atau Baliaga.
Padahal keduanya memiliki makna spiritual yang dalam dan berbeda fungsi dalam konteks persiapan hari suci. Menurut penjelasan Jro Mangku Neztra, Sugihan Jawa juga terkenal dengan sebutan Sugihan Jambul atau Parerebon. Rahina ini merupakan hari penyucian Bhuana Agung atau makrokosmo, yaitu alam semesta.
Sugihan Jawa jatuh pada Kamis Wage Wuku Sungsang, dan berasal dari dua kata, yaitu “sugi” yang berarti membersihkan. Sedangkan, “Jawa” yang dalam bahasa Kawi berarti luar atau eksternal. Jadi, Sugihan Jawa bukan khusus untuk keturunan dari Jawa. Melainkan sebagai pembersihan alam luar secara sekala (nyata) dan niskala (spiritual).
Pembersihan secara sekala dapat dilakukan dengan membersihkan pura, lingkungan sekitar, serta alat-alat upacara. Sedangkan, secara niskala Sugihan Jawa memiliki makna dengan menghaturkan banten atau persembahan suci di pelinggih-pelinggih.
Berbeda dengan itu, Sugihan Bali jatuh pada Jumat Kliwon Wuku Sungsang, satu hari setelah Sugihan Jawa. Kata Bali dalam konteks ini berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kekuatan dari dalam diri. Maka dari itu, Sugihan Bali merupakan hari untuk menyucikan Bhuana Alit atau alam kecil, yaitu tubuh dan jiwa manusia.
Sesuai dengan yang tertulis dalam Lontar Sundarigama, Sugihan Bali adalah saat yang tepat untuk membersihkan tubuh secara fisik dan rohani. Ritual ini melalui penglukatan (pembersihan) dengan tirta (air suci) serta permohonan kesucian pada tiga unsur spiritual dalam diri manusia. Seperti, Sukma, Sarira, dan Antahkarana.
Makna mendalam dari kedua sugihan ini sangat berkaitan erat dengan kesiapan batin dan lingkungan dalam menyambut Galungan dan Kuningan. Sugihan Jawa memulai pembersihan dari luar, dan Sugihan Bali melanjutkannya ke dalam, menciptakan keharmonisan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Dengan pemahaman yang benar, masyarakat Hindu diharapkan dapat menjalani rangkaian upacara ini dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Dengan begitu nilai-nilai spiritual tetap lestari di tengah perkembangan zaman.(NI 01)